TASAWUF MODERN

Arti tasawuf dan asal katanya menjadi pertikaian ahli- ahli bahasa. Setengahnya berkata bahwa perkataan ini diambil dari perkataan shifa', artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Kata setengahnya berasal dari perkataan "shuf", artinya bulu binatang. Sebab, orang-orang yang memasuki tasawuf ini memakai baju dari bulu binatang, mereka benci pakaian yang indah-indah atau pakaian 'orang dunia" ini. Dan kata setengahnya diambil dari kaum "shuffah"; Segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid Nabi. Kata setengahnya pula dari perkataan "shufanah", ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab. Tetapi setengah ahli bahasa dan riwayat terutama di zaman yang akhir ini mengatakan bahwa perkataan "Sufi" itu bukanlah bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani lama yang telah di-Arab-kan. Asalnya "thensofie", artinya "ilmu ke Tuhanan", kemudian di- Arab-kan dan diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi "tasawuf".

Walaupun dari mana pengambilan perkataan itu, dari bahasa Arabkah atau bahasa Yunani, namun dari asal-asal pengambilan itu sudah nyata bahwa yang dimaksud dengan kaum Tasawuf, atau kaum "Sufi" itu ialah kaum yang telah menyusun kumpulan menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat-kaca terhadap Tuhan, atau memakai pakaian yang sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup kelihatan kurus-kering bagai kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang hubungan makhluk dengan Khaliknya. Sebagaimana yang dimaksud perkataan Yunani itu.

Bila disebut orang nama kaum Sufi, terutama di negeri kita ini, teringatlah kita kepada tarikat, misalnya: Tarikat Naqsyabandiyah, Syaziliyah, Samaniyah, dan tarikat Haji Paloppo di tanah Bugis. Bila kita pelajari tarikat yang ada di sini, kelihatanlah mempunyai peraturan sendiri-sendiri. Padahal pada asalnya tasawuf itu tidaklah mempunyai peraturan tertentu yang tidak boleh diubah-ubah. Yang sebetulnya, tasawuf itu adalah menempuh kemajuan juga. Dia adalah semacam filsafat yang muncul kemudian setelah zaman Nabi, yang maju mundur menilik keadaan zaman dan keadaan negeri.

Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam, yang maksud awalnya hendak zuhud dari dunia yang fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengkajian agama dari bangsa lain itu ke dalamnya. Karenanya tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikut tanpa terasa.

Ibnu Khaldun berkata, "Tasawuf itu adalah semacam ilmu syar'iyah yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah!".
Demikianlah kalau kita dengarkan kupasan Ibnu Khaldun, yang meneropong suatu perkara dari segi ilmu pengetahuan. Akan tetapi ahli-ahli tasawuf yang terbesar mempunyai pula kaidah sendiri-sendiri tentang arti tasawuf itu. Ada yang berkata, Tasawuf ialah putus perhubungan dengan makhluk dan kuatnya perhubungan dengan Khalik."
Junaid berkata Tasawuf ialah keluar dari budi perongai yang tercela don masuk kepada bud perangai yang terpuji."

Yang paling hebat ialah seperti yang diartikan oleh al- Hallaj. Seketika dia telah disalibkan dan menunggu ajal, sebab dia berkeyakinan bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan, maka datang seorang bertanya kepadanya, "Di waktu sekarang patur engkau mewariskan kata kepada kami, apakah arti yang sejati dari tasawuf itu?"
Darah telah titik dari tubuh dan dari dalam matanya, punggungnya telah hangus kena panas, hanya menunggu tubuhnya akan dipotong-potong. Waktu itu dia berkata, kata yang penghabisan, "Tasawuf ialah yang engkau lihat dengan matamu ini. Inilah dia Tasawuf!".
Sebagian menjadi budak harta, yang lebih sayang kepada hartanya dari pada agamanya. Setengahnya lagi menjadi budak fikih, bertengkar bertegang urat leher, meributkan apakah batal wudhu' kalau sekiranya darah tuma lekat kepada baju. Dan ada pula yang karam di dalam khalwatnya, dengan pakaian sufinya, tidak peduli apa-apa, tidak menangkis se- rangan, karena merasa "lezat" di dalam kesunyian tasawuf itu.

Tasawuf yang demikian bukanlah asal dari pelajaran Islam. Zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang. Semangat berkurban, bekerja, bukan semangat malas, lemah-paruh, dan melempem.

Agama Islam adalah agama yang menyeru umatnya men- cari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam perjuangan hidup bangsa- bangsa. Bahkan, agama Islam menyerukan menjadi yang dipertuan di dalam alam dengan dasar keadilan, memungut kebaikan di manapun juga bersuanya, dan memperbolehkan mengambil peluang mencari kesenangan yang diizinkan.

Maksud tasawuf pada mula-mula timbulnya adalah suci, yaitu hendak memperbaiki budi pekerti, sebagaimana kata Junaid yang kita sampaikan di atas. Ketika mula-mula timbul itu semua orang bisa menjadi sufi, tidak perlu memakai pakaian tertentu, atau bendera tertentu, atau berkhalwat sekian hari lamanya di dalam kamar, atau mengadu kening dengan kening guru.

Di zaman Nabi Muhammad Saw hidup, semua orang menjadi "sufi". Yaitu sufi sepanjang artian Junaid tadi. Baik Nabi dan sahabatnya yang berempat, atau yang beribu-ribu itu, semuanya berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar dan haus, dan jika mereka memperoleh beberapa orang yang shaleh-shaleh ialah orang kaya-raya yang mempunyai harta-benda lebih daripada yang perlu. Sehingga menjadi pertikaian paham di antara ulama-ulama, manakah yang utama di sisi Allah, seorang kaya syukur dengan seorang fakir yang sabar. Adapun berlebih-lebihan memasukkan rasa kebencian terhadap harta kekayaan dunia itu ke dalam hati sanubari, adalah salah satu sebab kelemahan kaum muslimin dan salah satu sebab mereka dapat dikalahkan oleh musuhnya. Kesenangan yang menyebabkan sombong atau lalai dari melakukan kewajiban atau menyebabkan suka kepada haram," demikian Rasyid Ridha.

Dengan segala keterangan itu jelaslah maksud kita dengan buku ini. Kita namai "Tasawuf", ialah menuruti maksud tasawuf yang asli, sebagaimana kata Junaid tadi. Yaitu: "Keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji." Dengan tambahan keterangan "Modern".

Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk kesejahteraan diri.

PENDAPAT-PENDAPAT TENTANG BAHAGIA

PENDAPAT ARISTOTELES

Aristoteles berpendapat bahwa, "Bahagia bukanlah suatu perolehan untuk manusia, tetapi corak bahagia itu berlain-lain dan berbagai ragam menurut perlainan corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak oleh orang lain. Sebab itu- menurut undang-undang Aristoteles, bahagia itu ialah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing."

Beliau berpendapat bahwa bahagia itu bukan mempunyai arti dan satu kejadian, melainkan berlainan coraknya menurut tujuan masing-masing manusia. Adapun yang berdiri dengan sendirinya, dan tujuan setiap manusia yang hidup ialah Kebaikan Umum. Bahagia itu ialah tujuan tiap-tiap diri. Kelak setelah tiap-tiap diri memperoleh bahagia yang dicarinya, barulah kemanusiaan umum itu melangkah menuju kebaikan untuk bersama.

Kata Aristoteles lagi,

"Kebaikan umum itu ialah suatu perkara, yang bila telah tercapai, maka kita tidak berkehendak lagi kepada yang lain. Tetapi bahagia ialah anugerah Allah kepada tiap-tiap diri yang dipilih-Nya, yang boleh jadi orang lain tidak merasakannya, meskipun yang memperoleh bahagia dengan yang tidak memperoleh itu berkumpul setiap hari."

PENDAPAT AHLI-AHLI PIKIR ZAMAN SEKARANG
Ahli-ahli pikir zaman kini ada yang putus asa, ada yang kecewa, dan ada yang merasa sukar sekali mencari bahagia itu. Hendrik Ibsen, ahli pikir bangsa Norwegia (1828-1906) berkeyakinan bahwa mencari bahagia itu hanya menghabiskan umur saja, karena jalan untuk menempuhnya sangat tertutup, setiap ikhtiar untuk melangkah ke sana senantiasa terbentur. Karena mula-mula orang yang menujunya menyangka bahwa perjalanan telah dekat, padahal dekat kepada jurang tempat jatuh.

Beliau berkata, "Kita belum mencapai bahagia, sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita daripadanya."

Coba pembaca pikir, tidaklah patur filosof ini ber- pendapat demikian? Berapa banyaknya kita lihat di dalam hidup ini manusia berikhtiar hendak mencapai bahagia dengan bermacam-macam jalan, tetapi boleh dikatakan tiap- tiap menempuh itu terjatuh di tengah jalan? Ada pahlawan, yang mula-mula menyangka bahwa bahagia akan tercapai olehnya dengan jalan membela tanah airnya. Tiba-tiba setelah tercapai olehnya kebahagiaan tanah air itu, setelah ia memperoleh kemenangan, lupalah ia kepada bahagia yang ditujunya, ia mencoba pula hendak merusakkan tanah air orang lain.

Seketika miskin, orang bercita-cita hendak kaya, karena bila harta telah cukup bahagia akan tercapai, sebab dapat membantu sesama hamba Allah. Tetapi setelah dia kaya dia menjadi sombong, harta bendanya disimpannya, dan dia menjadi kikir.

Sebelum ia menjadi presiden atau menteri, atau anggota parlemen, ia berjanji di hadapan rakyat bahwa dia akan membantah segala sifat yang zalim dan aniaya. Tetapi setelah kursi diperolehnya berkisarlah kezaliman menteri yang hilang kepada menteri yang baru.
Demikianlah antara lain contoh- contoh.

Itulah sebab filosof Hendrik Ibsen berkata bahwa men- cari bahagia itu membuang-buang umur saja. Akan tetapi sikap yang beliau ambil itu adalah sikap putus asa.

Thomas Hardy pun segolongan dengan Hendrik Ibsen sama-sama putus asa di dalam mendaki, memanjat dengan bermacam-macam ikhtiar untuk mencapai babagia, bahagia itu tidak dapat juga.

UNSUR BAHAGIA

Ahli filsafat dan tasawuf berselisih paham terkait susunan bahagia. Artinya berapakah percampuran zat yang kelak menjadi zat yang tersendiri yaitu: Bahagia? Ibarat ilmu kimia berapakah zat kapur, vitamin, zat putih-telur, dan lain-lain yang diaduk menjadi tubuh bahagia?

Perlu juga diketahui, karena cara mencari macam kayu kadang-kadang bukan dengan cara menilik batangnya, tetapi dengan memperhatikan dahan dan daunnya.

Pertama: Paham Pithagoristen dan Platonisten. Menurut pendapat Pithagoras, Socrates, Plato dan lain- lain, unsur bahagia itu tersusun dari empat sifat utama, yaitu: Hikmah, keberanian, 'iffah (kehormatan), dan adil. Menurut mereka yang empat ini sudah cukup, tak usah ditambah lagi!

Kedua: Paham Aristoteles, yaitu:

1. Badan sehat dan pancaindra cukup (memadai pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan kulit).
2. Cukup kekayaan, banyak pembantu sehingga sanggup meletakkan harga pada keperluannya, di dalam mencapai kebaikan, menolong fakir-miskin, menunjukkan jasa baik kepada sesama manusia, sehingga memperoleh nama baik.
3. Indah sebutan di antara manusia, terpuji di mana- mana, terhitung masuk bagian orang dermawan, setiawan, ahil pikir. Semua dicapai dengan menanamkan budi bahasa.
4. Tercapai apa yang dicita-cita di dalam mengarungi lautan hidup.
5. Tajam pikiran, runcing pendapatan, sempurna kepercayaan memegang agama atau dunia, terjauh dari kesalahan dan tergelincir.
Bila terkumpul semuanya ini, tercapailah bahagia yang sempurna (assa'adatul kamilah).
Maka tidaklah susah mencapai bahagia, menurut agama, kalau telah tercapai 4 (empat) perkara:
1. I'tikad yang bersih.
2. Yakin.
3. Iman.
4. Agama.

I'TIKAD

Apakah arti i'tikad? Dan apa hubungannya dengan bahagia? I'tikad terambil dari bahasa Arab. Asal katanya dari 'aqada dipindahkan kepada Itiqada, artinya ikatan. Kalau telah beri'tiqad artinya hati manusia telah terikat dengan suatu kepercayaan atau pendirian.

Arti i'tikad berasal daripada mengikat tepi-tepi barang, atau mengikatkan suatu sudut kepada sudut yang lain. Jadi timbulnya i'tikad di dalam hati, ialah setelah lebih dahulu pikiran itu terbang dan lepas entah ke mana, tidak berujung dan tak tentu tempat hinggap. Kemudian dapatlah suatu kesimpulan pandangan, lalu menjadi keyakinan. Terikat tidak retak lagi.

Sebab itu maka suatu pendapat yang tidak timbul dari pertimbangan akal pikiran yang hanya lantaran taklid buta, lantaran ikut-ikutan belumlah bernama i'tikad. Orang yang beri'tikad di dalam suatu perkara tidaklah mau mengerjakan suatu atau meninggalkan suatu pekerjaan dengan tidak berpikir. Kesimpulan pikirannya ialah i'tikadnya. Keputusan i'tikad itulah yang diikuti oleh diri. Kalau manusia melawan i'tikadnya, dikerjakan pekerjaan yang dilarang oleh i'tikadnya atau dihentikannya pekerjaan yang disuruhkannya, ketahuilah bahwa orang itu telah didorong oleh kekuatan lain bukan kekuatan asli dari kehendak jiwanya, melainkan kekuatan musuhnya, yaitu hawa-nafsunya. Selama dia bekerja melawan f'tikadnya, selama itu pula hati sanubarinya memberontak melawan perbuatannya. Kalau perbuatan salah itu langsung timbullah rasa yang lain dalam diri, yaitu sesal.

Dalam bahasa Indonesia i'tikad itu telah berubah menjadi tekad.

Al-Qur'an menerangkan keadaan ini demikian, "Dan orang-orang yang mengerjakan satu perbuatan, atau menganiya dirinya sendiri maka ingat mereka akan Allah. Lalu mereka memohon ampun atas kesalahan itu serta tidak tetap juga mereka atas perbuatan itu, sedang mereka telah mengetahui," (QS Ali Imran [3]: 135).

Demikian keadaan orang yang mempunyai i'tikad, kalau mereka terlanjur mengerjakan kesalahan.

Orang yang tidak mempunya itikad, adalah menjadi puncak aru, mengulai ke mana gerak angin saja, ke mari bukan ke sana entah. Diputar dan dilentikkan kumis kalau lawan belum kelihatan, diajaknya lawan itu berjuang kalau dia tegak sendiri. Akan tetapi kalau bertemu lawan itu di tempat yang lengang seorang sama seorang, tidak ada yang akan mengetahui, maka kumisnya itu akan dielus-elusnya turun. Dan, kalau dia dimaki, dia diam saja, sebab dia katanya sabar.

YAKIN

Yakin artinya nyata dan terang. Yakin itu ialah lawan dari syak dan ragu-ragu. Maka tidaklah akan hilang syak dan ragu-ragu itu kalau tidak ada dalil atau alasan yang cukup. Dan datangnya yakin itu setelah memperoleh bukti-bukti yang terang. Keyakinan datang setelah menyelidiki, kadang- kadang tidak diselidiki lagi karena dalil itu cukup terbentang di hadapan mata. Cara mencapai dalil itu tidaklah sama di antara manusia. Banyak perkara yang diyakini oleh seorang, masih diragui oleh yang lain, sebab belum mendapat dalilnya. Akan tetapi dalam perkara yang terang misalnya alasan bahwa hari telah siang, atau dua kali dua empat, lekas orang yang meyakininya.

Lantaran itu maka ayat, "Sembahlah Tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan," ditafsirkan oleh setengah mufassirin, "Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu mati." Tafsir seperti inilah yang lebih mu'tamad.

Apakah sebabnya mereka artikan yakin itu dengan mati? Sebabnya ialah lantaran mati itu sudah yakin akan datang kepada kita, atau dengan kematian telah yakin datangnya ajal kita yang ditunggu-tunggu, seumpama dua kali dua sama dengan empat.

Yakin itu ialah sifat ilmu yang ketiga. Imu mempunyai tiga tingkatan atau sifat Pertama, moifat, artinya tahu Kedua, dirayat, artinya dialami Ketiga, yakin."

Perbedaan Yakin dengan I'tikad

I'tikad ialah kesimpulan pendapat pikiran. Keyakinan lebih daripada i'tikad karena keyakinan adalah setelah diselidiki. Tegasnya itikad tingkat pertama, keyakinan tingkat kedua. Sebab itu maka tiap-tiap keyakinan itu adalah i'tikad, tetapi tidaklah tiap-tiap i'tikad itu keyakinan.

Maka janganlah mempunyai i'tikad saja dengan tidak mempunyai keyakinan. Hendaklah i'tikad diuji dengan batu ujian keyakinan. Segala agama dan pendirian di dunia ini umumnya bernama i'tikad, tetapi tidak semuanya keyakinan pada zatnya.

Agama Islam adalah suatu i'tikad. Sebab itu hendaklah kita jalankan pikiran, bersihkan hati dan jiwa setiap pagi dan petang, siang dan malam, supaya dia jadi i'tikad yang diyakini.

AL-IMAN

Iman artinya percaya.

Jika perkataan Iman itu disendirikan, termasuklah kepadanya segala amalan yang lahir atau batin. Berkata setengah ahli pikir Islam, "Iman itu ialah perkataan dan perbuatan (qaulun wa'amalun). Artinya perkataan hati dan lidah dan perbuatan hati dan anggota!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TRADISI & KEPERCAYAAN YG MASIH ADA DI INDONESIA